PENILAIAN KINERJA
PENILAIAN KINERJA
MUK II
Disusun Oleh :
1.
Arum Risti Sarasati (A11617540)
2.
Aulia Fitri Nurdilah M.P (A11617541)
3.
Dwi Wahyuningsih (A11617551)
4.
Suci Mulya Islamiyani (A11617587)
5.
Rendy Avanda Rista (A11617599)
PRODI
DIII REKAM MEDIK DAN INFORMASI KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN BHAKTI MULIA SUKOHARJO
2018
Penilaian Kinerja
A. Pengertian
Penilaian Kinerja
Menurut Mangkunegara (2006)
penilaian kinerja adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk
mengetahui hasil pekerjaan pegawai dan kinerja organisasi. Selain itu, juga
untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja secara tepat, memberikan tanggung
jawab yang sesuai kepada pegawai sehingga dapat melaksanakan pekerjaan yang
lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam
hal promosi jabatan atau penentuan imbalan.
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson. (2006) penilaian kinerja
adalah proses mengevaluasi seberapa baik pegawai melakukan pekerjaan mereka
jika dibandingkan dengan seperangkat standar, dan kemudian mengomunikasikan
informasi tersebut kepada pegawai. Penilaian kinerja juga disebut pemeringkatan
pegawai, evaluasi pegawai, tinjauan kinerja, evaluasi kinerja, dan penilaian
hasil.
Penilaian kinerja berkenaan dengan
seberapa baik seseorang melakukan pekerjaan yang ditugaskan atau diberikan.
Menurut Veithzal Rivai (2004) Penilaian kinerja adalah proses organisasi
mengevaluasi pelaksanaan kerja individu dan penilaian kinerja merupakan
analisis dan interprestasi keberhasilan atau kegagalan pencapaian kinerja.
Penilaian kinerja merupakan sistem formal dan struktur yang digunakan untuk
mengukur, menilai dan mempengaruhi sifatsifat yang berkaitan dengan pekerjaan,
perilaku dan hasil termasuk tingkat ketidakhadiran.
B. Tujuan
Penilaian Kinerja
Menurut Anwar Prabu Mangkunegara
(2006) tujuan penilaian kinerja adalah :
1.
Sebagai
dasar pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi, pembehentian dan
besarnya balas jasa.
2.
Untuk
mengukur sejauh mana seorang pegawai dapat menyelesaikan pekerjaannya.
3.
Sebagai
dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam organisasi
4.
Sebagai
dasar untuk mengevaluasi program pelatihan dan keefektifan jadwal kerja, metode
kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan.
5.
Sebagai
indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi pegawai yang berada
dalam organisasi.
6.
Sebagai
alat untuk meningkatkan motivasi kerja pegawai sehingga dicapai kinerja yang
baik.
7.
Sebagai
alat untuk melihat kekurangan atau kelemahan dan meningkatkan kemampuan pegawai
selanjutnya.
8.
Sebagai
menentukan kriteria seleksi dan penempatan pegawai.
9.
Sebagai
alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan pegawai.
10.
Sebagai
dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas.
C. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja
Berdasarkan Keith Davis dalam
Mangkunegara (2006) faktor kinerja berasal dari kemampuan dan motivasi. Berikut
penjelasannya :
1.
Faktor
Kemampuan
Secara psikologis, kemampuan terdiri
dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya,
pimpinan dan pegawai yang memiliki IQ di atas rata-rata (IQ 110-120) apalagi IQ
superior,very superior, gifted dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk
jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari –hari, maka akan mencapai
kinerja maksimal.
2.
Faktor
Motivasi
Motivasi diartikan suatu sikap
(attitude) pimpinan dan pegawai terhadap situasi kerja (situation) di
lingkungan organisasinya. Mereka yang bersifat positif terhadap situasi
kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka
bersikap negatif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerjanya
akan menunjukkan motivasi yang rendah. Situasi kerja yang dimaksud melilputi
antara lain hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan,
pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja
James I. Perry, dalam buku yang
dieditnya, Handbook of Public
Administration, menjelaskan bahwa penilaian performasi seorang pekerja biasanya sangat dipengaruhi
oleh factor – fakto, seperti ras/suku bangsa, gener, dan usia.
1.
Ras/Suku
Bangsa
Penilaian performasi dipengaruhi
oleh faktor ras dan/atau suku bangsa. Pada studi Flaugher, Campbell, dan Pike,
tahun 1969 (Perry, hal. 393), ditunjukkan bahwa supervisior yang mengadakan
penilaian performasi bagi orang kulit hitam dan kulit putih. Orang kulit hitan
ternyata performasinya dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan rekan- rekan
kerjanya yang berkulit putih. Hasil studi tersebut menjelaskan bahwa ternyata
ras merupakan faktor yang penting dalam evaluasi. Studi Schmitt dan Hill, tahun
1977, (Ibid), juga menjelaskan bahwa para pekerja wanita yang berkulit hitam
biasanya dinilai redah performansinya jika para penilainya berkulit putih.
Demikian juga studi Landi dan Farr, tahun 1980, menunjukkan bahwa para pekerja yang
dinialai cenderung memperoleh penilaian performansi yang tinggi dari para
penilai yang berasal dari ras dan/atau suku bangsa yang sama.
2.
Gender/Jenis Kelamin
Terdapat diskriminasi dalam
penilaian performansi antara pekerja yang bejenis kelamin wanita dengan yang
laki – laki. Dari Lovrich dan Jones, tahun 1983, diperoleh penjelasan bahwa
wanita dan laiki - laki menilai proses performansi dengan cara yang sama. Namun,
banyak kaum wanita yang menilai bahwa masih terdapat perlakuan yang berbeda
dalam penilaian performansi. Mereka mengklaim bahwa mereka sering mendapati
bahwa mereka sering kurang diberi kepercayaan di tempat kerja dibandingkan
dengan rekan – rekan kerja yang bejenis kelami laki – laki. Tentu masih ada stereotype yang negative pada kaum
wanita. Pada organisai tertentu, hasil observasi Kanter tahun 1977 (ibad, hal.
493), ada kaum wanita yang menduduki posisi sebagai supervisor atau pemimpin,
tapi itu diperlakukan sebagai suatu pengecualian dan tidak pernah diterima
secara tulus oleh rekan – rekan yang berjenis kelamin laki – laki. Walaupun
sudah ada kemajuan dalam hal emansipasi, dan perbaikan dalam mobilitas
pekerjaan/ okupasi, para bawahan wanita masih terus menggugat soal penilaian
performansi menentukan pembayaran gaji dan promosi berdasarkan sistem merid.
Kaum wanita percaya bahwa pola diskriminasi yang tak ketara masih terus ada.
Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa seorang wanita yang ingin mencapai
pengakuan yang menonjol ia harus menjadi seorang yang ekstera berusaha,
sementara kaum laki – laki menerima penelaian yang sama hanya dengan usaha
usaha yang tidak sebanding dengan usaha yang telah dilakukan wanita.
3.
Usia
Rhodes, tahun 1983 menemukan bahwa
terdapat keyakinan yang luas bahwa usah mempengaruhi performansi (ibid, hal.
394). Banyak dari para pekerja yang berusia lebih tua, yang mempertahankan
kemampuannya, menilai bahwa menerima nilai yang rendah bila penilaian dikaitkan
dengan pembayaran berdasarkan sistem merit. Upah yang tinggi cenderung jatuh
pada para pekerja yang berusia muda untuk mengikat mereka tetap dalam
organisasi. Ada klaim dari para pekerja yang berusia agak tua yang mengatakan
bahwa para supervisor yang masih muda biasanya cenderung menilai rendah
performansi mereka yang sudah tua dibandingkan dengan mereka yang seusia
supervisor atau yang masih muda. Para pekerja usia muda dituduh lebih banyak
diberi peluang pada posisi yang lebih cepat mendatangkan keberhasilan. Waldman
dan Avoilo, tahun 1986, bedasarkan analisis atas data yang ada, mendapatkan
bahwa hanya sedikit kecenderungan yang diberi penilaian rendah terhadap para
pekerja berusia lebih tua. Gejala ini, kata mereka, tidak terjadi di organisasi
– organisasi yang professional. Dalam lingkungan yang penuh persaingan, konflik
antar generasi bisa mempengaruhi penilaian dan persepsi mengenai keadilan.
D. Kriteria
Penilaian Kinerja
Terdapat berbagai metode atau cara
penilaian yang dapat diterapkan dalam penilaian prestasi kerja pegawai. Hampir
semua teknik-teknik tersebut merupakan suatu upaya langsung untuk menangani
berbagai masalah tertentu yang dihadapi dengan pendekatan-pendekatan lain,
tidak ada satupun teknik yang sempurna, masing-masing mempunyai kebaikan dan
kelemahan. Menurut Gomes (2003) mengemukakan tiga tipe kriteria penilaian
kinerja yang saling berbeda, yaitu :
1.
Penilaian
Kinerja Berdasarkan Hasil (Result-Based Performance Appraisal)
Tipe ini merumuskan prestasi kerja
berdasarkan pencapaian tujuan organisasi, atau mengukur hasil-hasil akhir (end
result). Sasaran yang harus dicapai dalam penilaian ini telah ditetapkan
terlebih dahulu. Penetapan sasaran seperti ini dikenal dengan istilah
Management By Objective (MBO). MBO digunakan ebagai dasar penilaian / evaluasi
prestasi dari para pegawai, dan fokusnya biasanya angsung pada apa yang telah
dicapai oleh pegawai.
2.
Penilaian
Kinerja Berdasarkan Perilaku (Behavior-based Performance Appraisal)
Tipe ini mengukur sarana (means)
pencapaian sasaran (goals), dan bukannya hasil akhir (end result). Jenis
kriteria ini biasanya dikenal dengan BARS (Behaviorally Anchored Rating
Scales). BARS menganggap pegawai bisa memberikan uraian yang tepat mengenai
prestasi kerja yang efektif dan yang tidak efektif.
3.
Penilaian
Kinerja Berdasarkan Kebijaksanaan (Judgment-Based Performance Appraisal)
Ada dua tipe penilaian yang
didasarkan pada Judgment ini, yaitu :
a.
Rating
Method
Metode ini melibatkan sejumlah
perilaku yang terkait dengan Pekerjaan yang secara longgar dirumuskan, dan
penilai (rater) diminta untuk menjawab dimensi-dimensi perilaku itu pada
beberapa skala nilai.
b.
Ranking
Method
Disini penilai (rater) dipaksa untuk
menggunakan mereka yang dinilai (rate) pada satu atau beberapa dimensi prestasi
kerja. Semua pekerjaan dirankingkan dari yang paling baik hingga yang paling
jelek. Pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai metode penilaian itu
menjadi sangat penting. Harus ditekankan bahwa pemahaman tersebut menyangkut
baik kebaikan maupun kekurangannya karena tidak ada satu pun metode yang hanya
memiliki kebaikan dan bebas dari kelemahan
E. Strategi
Meningkatkan Efektivitas Penilaian
Performansi
Langkah-langkah berikut dianggap
akan sangat membantu meningkatkan
efektivittas penilaian, yaitu :
- Sesuaikan kriteria performansi dengan situasi-situasi pekerjaan;
- Gunakan pendekatan penilaian performansi yang partisipasi;
- Fokuskan pada perilaku-perilaku tertentu atau pencapaian tujuan;
- Fokuskan pada problem solving daripada judgment;
- Pisahkan diskusi-diskusi mengenai gaji dari penilaian performannsi;
- Berilah latihan kepada para evaluator performansi
Sementara itu, Wilbur c. Rich
menjelaskan bahwa guna memeuhi norma-norma mengenai praktek dan presentasi yang
efektif, penilaian performansi harus memperhatikan hal-hal berikut :
- Keterkaitan pekerjaan (be job-related) dan spesifikasi pekerjaan (job-specific), pengukuran tugas yang dilaksanakan tersebut dan sesuaikan dengan pekerjaan yang di uji;
- Mengukur hanya perilaku yang dapat dlihat
- Sesuaikan dengan standar-standar menganai kejelasan dalam susunan kata-kata (Wording) yang dapat diterima dalam (kemenduaan dan ketidakjelasan instrumen yang disetujui);
- Hindarkan pilihan-pilihan perorangan dan subyektivitas (kata-kata seperti ketulusan dan komitmen tidak harus dipakai kecuali karakteristik-karakteristik itu bisa diukur);
- Dicoba hanya sesudah usaha yang disetujui bersama untuk mengkomunikasikan standar-standar performansi kepada para pekerja;
- Dicoba setelah pelatihan penilai selesai dilakukan;
- Direncanakan pada selang waktu yang menyenangkan;
- Didokumentasikan dan didukung dengan bukti kerjasama;
- Dinilai dan diperbarui seara teratur
- Tingkatkan partisipasi pekerjaan
Atura-aturan pelaksanaan itu berada
diluar tanggung jawab formal dari perjanjian-perjanjian dan manual ada pekerja.
Aturan-aturan tersebut ditemukan pada inti mikrodinatik yang mencarikan
hubungan-hubungan manusia. Interaksilah yang memperkuat keabsyahan proses
penilaian.
Norma-norma praktek dan presntasi
menurut beberapa metode penilaian partisipatif,termasuk didalamnya konsultasi
antara surervisor,dengan suatu komitmen untuk evaluasi yang obyektif. Untuk
memenuhi persyaratan tersebut perlu diciptakan sikap dan lingkungan yang
sesuai.
F. Bahaya-bahaya
dalam Menyeleksi Tipe Kriteria/Instrumen Penilaian Performansi
Secara garis besar, penilaian
performansi dapat dikelompokkan atas dua tipe, yakni tipe formal dan informal.
Kedua tipe ini sering dipergunakan secara terpisah, menurut konteksnya.
Penilaian informal trhadap para pekerja bisa melibatkan pengawasa sederhana
oleh para manajer. Sedangkan penilaian/evaluasi formal biasanya dinyatakan
secara lebih terinci dan sifatnya mengikat. Para supervisor diharapkan
mengetahui kemampuan-kemampuan dan kelemaha-kelemahan dari para bawahannya
tanpa pduli apakah ada proses evaluasi formal.
Seleksi terhadap salah satu pilihan
kriteria/instrumen biasanya merupakan bagian yang paling penting dalam
penilaian performansi, dan bukan merupakan pekerjaan yang gampang, membutuhkan
pertimbangan yang matang mulai dari biaya pelaksanaan hingga hasil keseluruhan organisasi
hingga suatu sistem. Pilihan terhadap salah satu instrumen harus dapat
diterima, dibenarkan dan dipertahankan oleh para peserta. Jika yang terjadi
sebaliknya, tanpa konsultasi dengan peserta, maka akan menimbulkan bahaya,
yaitu suasana kerjasama dan lingkungan yang mendukung menjadi sulit untuk
diciptakan. Para pekerja harus dilibatkan dalam setiap penentuan dan penetapan
alat instrumen penilaian performansi.
G. Dimensi-dimensi
Sistem Penilaian Perfromansi
Penentuan sistem penilaian
performansi yang dilalakukan oleh setiap lembaga/organisasi biasanya tidak
terepas dari lingkungannya dan ini meliputi dimensi-dimensi hukuk,poitik,
organisasi, dan psychometrix. Beragai dimensi dari penilaian performansi
tersebut terikat pada sistem sosial yang simbotik. Setiap perubahan yang
terjadi pada salah satu dimensi bisa menyebabkan perubahan pada dimensi yang
lain. Penilaian performansi seperti halnya kebanyakan manajemen sumber daya
manusia, tidak berdiri sendiri.
1.
Dimensi
Psikometrik
Pandangan psikometrik menyatakan
bahwa baik resep yang sah maupun hambatan-hambatannya, ditanggung oleh
validitas dan rehabilitas dari instrumen yang dipakai. Para psikolog malah
berusaha mengembangkan suatu alat pengukur performansi. Berdasarkan pendapat
mereka, memusatkan perhatian pada mekanisme penilaian dan bukannya pada
perdebatan kebijaksanaan. Mereka memperdebatkan sebab-sebab kesalahan
penyebaran, efek halo, kelonggaran, dan kecenderungan memusat. Hasil pandangan
mereka menghasilkan banyak pandangan baru mengenai dinamika hubungan
atas-bawahan.Kane dan Lawyer (1979), mengusulkan sistem yang pengukuran
distribusional, suatu pendekatan statistik (skala diskriminasi/pembedaan
berdasarkan perilaku) untuk mengurangi inflasi penilaian yang merajalela.
Mereka mengusulkan agar para penilai melakukan pembedaan diantara orang-orang
yang dinilai. Aturannya, jika seseorang tidak melakukan pekerjaan, maka harus
diberhentikan.
2.
Dimensi
Organisasi
Dinamika organisasi bisa berpengaruh
terhadap berhasil/tidaknya sistem penilaian. Studi Ilgen dan Feldman (1984)
menunjukkan bahwa kesempatan pengamatan dari seorang penilai terikat pada
konteks program penilaian. Dalam beberapa organisasi, para supervisor bukan
hanya sekedar tidak mempunyai kesempatan untuk mengamati para pekerja di tempat
kerja dan memberi penilaian yang dapat diterima. Kedua, adalah sulit mengamati
secara terpisah seorang pegawai dari kelompok kerjanya. Oleh karena semua
pekerja bekerja dalam kelompok kerja maka seorang penilai harus mengetahui
dinamika kelompok masing-masing karena dinamika kelompok ini bisa terpengaruh
oleh penilaian mengenai orang-orangnya.
Pengelompokan tempat kerja di
organisasi publik, juga memainkan peranan dalam pengembangan reputasi kerja
para pkerja. Tidak bisa dilakukan penilaian sebelum membuat penilaian akir
secara individual. Dinamika organisasi juga dipengaruhi oleh keterbukaan
organisasi. Karena lembaga-lembaga berbeda dalam prioritas, jumlah anggota,
sejarah dan kepemimpinan, maka pendekatannya terhadap prektek dan presentasi
dalam proses penilaian juga berbeda. Iklim organisasi juga mempengaruhi sikap
terhadap pelatihan para penilai. Perhatian organisasi terhadap pelatihan sangat
ditentukan oleh sikap dari para penilai terhadap proses peatihan itu sendiri.
Organisasi akan melakukan investasi berupa pelatihan terhadap para penilai
karena akan meningkatkan ketrampilan mereka, meskipun biaya pelatihan
mahal.Biaya opersi juga merupakan faktor lain dalam proses penilaian. Semakin
besar biaya yang ditanamkan untuk sistem penilaian maka akan semakin besar peluang
efektifnya proses penilaian. Organisasi yang bertanggungjawab akan meciptakan
peluang bagi feedback pekerja, yang akan menghasilkan informsi tentang proses
penilaian yang sedang berjalan. Feedback yang demikian akan memungkinkan
organisasi melakukan penyesuaian sepanjang siklus penilaian.
3.
Dimensi
Politik
Probst (1931), mengamati bahwa
menilai atau tidak menilai bukan lagi merupakan permasalahan. Hal yang pokok
adalah bagaimanan menilai secara tepat, mudah, dan tanpa kerugian dan tanpa
menimbulkan permusuhan. Politik manajemen sumber daya manusia mengusulkan bahwa
pilihan terhadp suatu instrumen penilaian performansi, juga prosesnya itu
sendiri, memerlukan negoisasi antara kelompok-keompok kepentingan.
Kelompok-kelompok tersebut termasuk staf manajemen sumber daya manusia tingkat
pusat, para supervisor garis depan, serikat-serikat pekerja, dan
kelompok-kelompok pekerja yang informal.
Sistem penilaian performansi yang
paling efektif adalah sistem yang menimbulkan kekacauan politik dalam instansi.
Saran dari para psikolog untuk mengambil sampel dalam penetapan instrumen
ditentang karena akan kurang validitasnya, dan Schmidt (1980) mendukung
keterlibatan kelompok informal untuk mednapatkan vaiditas tersebut. Beberapa
sarjana administrsi publik menentang usul ini karena hanya menimbilkan peluang
adanya politisasi. Patten (1982), seorang perintis MBO akan berjalan lebih baik
jika tujuan-tujuan performansi dikaitkan dengan mis-misi organisasi yang
dirumuskan secara jelas, prosesnya sukarela, dan proses tersbut disinkronkan
dengan realitas anggaran. Ia mendukung pelatihan bagi para manajer dan masa
pecobaan lima tahun.
Jadi, walaupun para aanlis penilaian
performansi optimis mengenai instrumen yang bias-free, tetapi merka tetap
pesimis terhadap unsur manusianya.
H. Tipologi
Mengenai Poor Performers
James I. Perry mengemukakan bahwa
terdapat kurang lebih tujuh tipe dari mereka tergolong Poor Performer, yaitu mereka yang tidak mencapai performasi kerja
yang diharapkan. Ketujuh tipe tersebut, masing – masing :
1. The
Time Bomb
Mereka yang tergolong pada tipe ini
biasanya cenderung membuat ribut, atau
cenderung naik darah/ marah, atau make
scenes, atau make a big fuss, jika
mereka ditempatkan di bawah tekanan (Leap dan Crino, 1986, yang dikutip oleh
:414). Para supervisor dan para pekerja yang sama cenderung menghindari atau
mengasingkan pekerja-pekerja yang demikian (Orenstein, 1987). Sebenarnya tidak
mengapa jika mereka melakukan pekerjaan yang baik, tetapi sangat sering
pekerja-pekerja seperti itu melaksanakan pekerjaannya di bawah lavel yang dapat
diharapkan secara akal sehat. Bila para manajer bertanya perihal pekerjaan yang
demikian kepada para supervisor,dan apa yang dilakukan para supervisor untuk
memperbaiki performansi yang jelek dari para pekerja demikian, umumnya para
supervisor tidak memberi jawaban kecuali mempersalahkan pekerja-pekerja itu
sebagai biang keladinya.
2. The
Wet Blanket
Mereka yang tergolong The wet blanket suka mengambil bagian
dalam setiap aktivitas, atau hal apa saja yang berklangsung di dalam kelompok.
Mereka merasa terhina/ keberatan jika tidak dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan atau aktivitas – aktivitas kelompok, tetapi perilaku khas mereka
didalam lingkungan kelompok adalah untuk menyelipkan harapan – harapan yang
suram terhadap permasalahan- permasalahan yang dibahas. Komentar – komentar
seperti, “itu tidak masuk dalam rencana”, “itu tidak akan berjalan”, atau “saya
bisa melihat banyak persoalan seperti itu”, atau “pikirkan semua hal – hal yang
pasti tidak benar” merupakan ungkapan – ungkapan yang sering dilontarkan oleh
orang-orang seperti itu. Oleh karena itu para manajer yang sangat innovator,
atau yang selalu berusaha menemukan hal-hal baru, atau berani ambil resiko,
cenderung mengeluarkan orang-orang yang selalu berpandangan negatif ini dari
diskusi-diskusi pentig mengenai gagasan-gagasan bagi perusahaan. Mereka, The wet blanket cenderung naik darah
atas dikeluarkannya dari diskusi-diskusi yang demikian melalui infernal optimists,kemarahan yang
mencerminkan sikap negatifnya dan bahkan cenderung mempersalahkan semua orang
dengan cara meremehkan inisiatif-inisiatif perubahan yang diusulkan dan dibahas
melalui diskusi-diskusi.
3. The
Isolate
Merekayang
tergolong The isolate ini biasanya
adalah orang-orang yang sangat diam, dan penuh rahasia. Dari segi teknis, para
pekerja tipologi ini mampu mengerjakan pekerjaannya baik sekali. Akan tetapi,
dari sudut kelancaran komunikasi, baik kedalam maupun ke luar organisasi,
mereka tergolong orang-orang yang tertutup. Mereka tidak banyak ngomong, lebih
banyak diam, jarang mau berkomunikasi dengan klien-klien atau rekan-rekan
sekerjanya. Mereka tergolong orang yang sangat sulit dalam pelaksanaan fungsi
utama kelancaran komunikasi didalam organisasi. Orangnya tidak banyak inisiatif
untuk berkomunikasi, dan tidak banyak tertarik terhadap percakapan-percakapan
yang datang dari orang lain. Percakapan, kalaupun terjadi, hanya sebentar tidak
berlangsung lama. Merek cenderung merasa puas dan bangga atas pekerjaannya
(menurut batas akal sehat mereka) dan menganggap semua aspek personal dan
sosial dari pekerjaan sebagai kegaduhan (noise)yang tidak perlu terjadi di
ligkungan sekitarnya, yang bahkan harus ditanggung dengan perasaan sakit hati
dan marah, atau dendam. Mereka cenderung diperkenankan keluar dari setiap diskusi
mengenai masalah kerja unit. Akan tetapi, tidak seperti The Wet Blanket, mereka malah merasa sangat senang dibiarkan
sendiri “ untuk melaksanakan pekerjaannya”. Mereka kurang sekali melakukan
kontak-kontak informal, kurang komunikasi terbuka, dan kurang bersedia untuk
menaruh kepercayaan terhadap orang-orang dan pejabat-pejabat pemerintah.
Komunikasi-komunikasi yang demikian
sangat penting dalam organisasi, terutama yang public. Sangat sering organisasi
menghadapi persoalan yang ditimbulkan oleh orang-orang tipologi demikian.
4. The
Really Nice Person
orang-orang yang termasuk pada
kelompok ini, dari segi sifat kepribadian, penampilan, persahabatan, atau
beberapa gabungan dari factor-faktor tersebut, sangat disukai oleh banyak orang
lain. Walaupun performansinya lebih rendah, kurang baik, tapi terlihat terlau
baik untuk diberi hukuman. Cenderung terlalu bermurah hati, adalah orang-orang
yang sangat dikenal atau popular, cakap atau individu yang menarik, orang yang
dewasa/tua, dan sangat bermurah hati dan memperhatikan orang. Walaupun mereka
adalah incompetent (tidak mampu)
tetapi mereka cukup memberi perhatian dan cinta, tetapi tidak mampu bekerja.
Ibaratnya, seperti seorang sekeretaris yang sangat sopan dan bersahabat tetapi
tidak bisa mengetik. Orangnya ingin sesalu menonjolkan diri, tetapi sebenarnya
tidak mampu.
Para supervisor yang mendapati
kekurangan dari pelaksanaan kerja the
really nice person terhadap para klien, maka merekalah yang meminta maaf.
5. The
excuse Maker
Bentuk persoalan lain yang sering
dihadapi oleh seorang supervisor adalah yang biasanya dating dari para pekerja
yang tergolong tipologi ini, yaitu tipe orang yang mempunyai seribu macam
alasan. Selalu saja ada alas an atas tindakannya, terutama dalam kaitan dengan
performasi kerjanya. Sebenarnya pelasanaan pekerjaannya jelas-jelas menunjukkan
kualitas dibawah standar, tetapi orang tipologi ini selalu membenarkan diri dengan mengemukakan
berbagai macam alas an yang sebenarnya tidak masuk akal.
6. The
Loose Cannon
Yang tergolong tipologi ini adalah
mereka yang sebenarnya mampu hampir dalam segala aspek, tetapi karena terlampau
semangat (enthusias) dengan
pekerjaannya maka tidak jarang menimbulkan persoalan-persoalan bagi para
manajer, atau klien-kliennya. Terlalu banyak omong, jarang mengaku diri sebagai
poor performe, atau yang tidak
melaksanakan pekerjaan yang baik, walaupun pelakunya nyata-nyata tidak jauh
berbeda dengan poor performer
lainnya. Ciri-ciri seperti :
a. Overzealous,
b. Strictly
speaking,
c. Seldom
considered poor performer,
d. Failure
of judgement, dan
e. Excessive
or misdirected enthusiasm
Semuanya itu melekat pada diri orang
bertipologi The Loose Cannon.
Diakui bahwa dedikasi orang seperti
initerhadap pekerjaannya tinggi, tetapi karena terlampau bersemangat, bahkan
karena semangatnya yang kadang tidak terarah, maka tidak jarang justru banyak
menimbulkan gangguan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Dalam banyak hal, The Loose Canoonini secara salah
menganggap bahwa semangatnya itu juga disenangi oleh rekan-rekan kerjanya.
Mereka juga sering membuat komitmen-komitmen bagi teman-temannya, tetapi jarang
yang dipenuhinya. Mereka biasanya sangat memusuhi orang-orang yang dianggap
tidak mempunyai dedikasi dan/atau komitmen terhadap tugasnya yang tampak berada
jauh dari yang semestinya.
Mereka yang regolong tipologi ini
sering dipanggil sebagai crusaders
ulah-ulahnya, dan sering dipandang sebagai sumber utama bocornya
informasi-informasi dalam organisasi bagi pers/media dan perhatian public.
Mereka selalu mengkritik keberlangsungan organisasi. Para supervisor dalam
menghadapi orang-orang seperti ini biasanya memberikan kepercayaan dan dukungan
yang besar. Akan tetapi, sementara itu, para manajer juga terus berusaha
mencari jalan untuk meng-coral tenaga
dari para crusaders tersebut. Para manajer biasanya berusaha merancang strategi
untuk mencegah agar para crusaders tidak membuat banyak kerugian bagi
organisasi, dan moral organisasi. Ada crusaders yang sangat ambisius. Terhadap
mereka ini, para manajer sering berusaha mendapatkan informasi mengenai
peluang-peluang kerja di luar (organisasi) dan berusaha meyakinkan para
crusaders tersebut dengan cara menyatakan bahwa ada instansi lain yang
benar-benar membutuhkan tenaga mereka, dan bahkan sangat memperhatikan
aspirasinya, serta mampu memanfaatkan bakat mereka secara penuh.
7. The
Employee with Paralysis of Indecision
Tipologi ini adalah orang-orang yang
sebenarnyamempunyai kemampuan dalam hamper semua aspek, khususnya dalam keadaan
yang normal, dimana aturan-aturan mengenai apa yang harus dilakukkan sudah
digariskan dengan jelas, standar-standar mengenai performansinya sudah dipahami
dengan baik. Kesulitan timbul manakala orang-orang yang demikian berhadapan
dengan keadaan-keadaan baru yang menuntut penilaian dan pengambilan keputusan
segera dari yang bersangkutan. Orang-orang tipologi ini ditandai dengan
ciri-ciri, seperti :
a. Indecisiveness,
b. Lack
of independent judgement,
c. Lack
of inventive solutions,
d. Lack
of self-confidence,
e. Excessive
fear of making mistake.
Oleh karena itu, orang demikian
biasanya tidak mampu menghadapi persoalan-persoalan yang timbul dalam keadaan
darurat/kritis. Orang seperti itu terlalu terpaku pada aturan-aturan formal,
dan jika timbul situasi di luar normal maka mereka tidak berani, bahkan tidak
bisa mengambil inisiatif dan/atau keputusan. Jika orang bertipologi the loose cannon cenderung menimbulkan
persoalan-persoalan bagi instansi/organisasi karena terlampau anthusias maka
mereka yang bertipologi yang satu ini, yaitu yang menderita paralysis of decision cenderung membuat
persoalan-persoalan bagi instansi/organisasi hanya karena kurangnya kepercayaan
diri, atau kurangnya keberanian dalam mengambil keputusan, atau karena
terlampau khawatir akan risiko-risikonya.
I. Manajemen
Problem Employees
Pendekatan yang berbeda diperlukan
dalam menghadapi berbagai tipe poor
performers tersebut di atas. Pendekatan perbaikan terhadap performasi yang
buruk berangkat dari asumsi bahwa setiap orang mempunyai kemampuan dan sikap di
dalam menanggapi suatu hal itu berbeda. Di bawah ini terdapat empat macam
alternatif, yang meliputi tindakan disiplin positif, pelatihan (training), pengarahan (coaching), dan nasihat (monitoring). Matriks berikut menawarkan
beberapa alternative tindakan terhadap mereka yang tergolong kelompok poor performers.
Tabel
1.1 Alternatif Tindakan para “Poor Performers”
Kemampuan Untuk Melaksanakan Pekerjaan Yang Ditugaskan
|
Sikap
Terhadap Perubahan Pada Perilaku
|
|
Tidak
Bersedia Mengubah
|
Bersedia
Mengubah
|
|
Tidak Mampu Melaksanakan Pekerjaan Yang Ditugaskan
|
Pertimbangkan
Tindakan Disiplin
|
Berikan
Pelatihan (Training)
|
Mampu Melaksanakan Pekerjaan Yang Ditugaskan
|
Berikan
Pengarahan (Coaching)
|
Berikan
Nasehat (Mentoring)
|
Komentar
Posting Komentar